widget teks


I made this widget at MyFlashFetish.com.

Selasa, 28 Februari 2012

KONSEP ILMU DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN DALAM ISLAM

A. Pengertian al-ilmu
Secara bahasa al-ilmu adalah lawan dari al-jahlu atau kebodohan, yaitu mengetahui sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya, dengan pengetahuan yang pasti. Istilah ilmu yang dimaksud disini adalah pengetahuan (knowledge) atau ma’rifat. Pengetauan adalah segala hal yang diketahui manusia sebagai proses dan produk dari rasa dan kepastiannya untuk mengetahui sesuatu.
Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifah (pengetahuan) sebagai lawan al-jahlu (kebodohan). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, ilmu artinya adalah pengetahuan atau kepandaian, yang dimaksud dengan kepandaian dan pengetahuan tidak saja berkenaan dengan keadaan alam, tetapi juga termasuk yang lain. Sebagaimana yang dikenal mengenai beberapa macam nama ilmu, maka nampak jelas bahwa cakupan ilmu sangat luas, misalnya ilmu ukur, bumi, ilmu dagang, ilmu pendidikan dsb.
Kata ilmu sudah digunakan msyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Di Indonesia, bahkan sebelum ada kata ilmu sudah dikenal kata-kata lain yang maksudnya sama, misalnya kepandaian, kecakapan, pengetahuan, pengajaran dan lain-lain. Ada yang mencoba hanyalah sekedar tahu yaitu hasil tahu dari usaha manusia untuk menjawab pertanyaan ‘what”, misalnya apa batu itu, apa gunung, apa air dsb. Sedangkan ilmu bukan hanya sekedar dapat menjawab “apa” akan tetapi dapat menjawab “bagaimana” dan ‘mengapa” (how dan why), mengapa batu banyak macamnya, mengapa gunung dapat meletus, mengapa es mengapung dalam air.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Dekdikbud (1988) memiliki dua pengertian:
1. Ilmu diartikan suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dsb.
2. Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, batihn, ilmu akhlak, ilmu sihir dsb.

Jadi ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah yaitu mengandalkan logika dan bukti empiris.

B. Instrumen Meraih Ilmu Pengetahuan
Suatu ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai hanya dengan berpangku tangan. Untuk mencapai ilmu pengetahuan tersebut dibutuhkan alat atau insrumen yang membantu manusia dalam memperoleh suatu pemahaman tenang ilmu pengetahuan itu sendiri. Sesuai dengan firman Allah SWT tentang alat-alat untuk mencapai ilmu pengetahuan, yaitu:
”Dan Allah mengeluarkan kalian dari kandungan ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kalian pendengaran, pengelihatan dan qalbu. Semoga kalian bersyukur”.

Berdasarkan ayat di atas secara khusus Allah SWT menyebutkan pendengaran, penglihatan dan qalbu sebagai alat untuk mencapai ilmu pengetahuan. Namun tidak terbatas hanya pada 3 alat itu saja. Dalam al-Qur’an dinyatakan juga akal sebagai alay untuk mendapatkan pemahaman yakni 9Q.S 38 Shaad ayat 29).
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya menjadi peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal pikiran”.

Dalam hal ini juga disebutkan, bahwa sentuhan dan penciuman merupakan alat untuk mencapai ilmu. Untuk lebih spesifikasi disini akan diklasifikasikan lebih khusus alat atau instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
1. Penyentuhan dan Penciuman
Bahwa sentuhan tangan mungkin dapat dijadikan akal bagi orang-orang yang berakal guna mengenal suatu pengetahuan. Sedangkan orang-orang kafir yang qalbu dan akalnya buta terhadap dalil-dalil yang pasti mengenai Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah supaya menurunkan dari langit sebuah kitab-kitab yang terbentuk lembaran supaya dapat mereka sentuh untuk membenarkan bahwa kitab itu dari Allah SWT.
Begitu juga dengan penciuman merupakan salah satu alat yang dipergunakan manusia untuk mendapatkan ilmu. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir) ayah mereka berkata: sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kalian tidak menuduhku lemah akal (tentu kalian membenarkanku).

2. Pendengaran
Pendengaran merupakan suatu anggota badan yang sangat dibutuhkan oleh manusia, dengan adanya pendengaran manusia dapat mengerjakan apa yang telah diperintahkan kepadanya. Dan dengan adanya pendengaran manusia dapat memperoleh suatu ilmu pengetahuan.

3. Penglihatan
Ada ilmu-ilmu yang dapat kita peroleh melalui penglihatan sebagaimana firman Allah dalam surah al-An’am ayat 104:
“Sesungguhnya telah datang dari Rabb kalian bukti-bukti yang: maka barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi diri sendiri dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu) maka kemudharatannya kembali kepadanya.

4. Akal
Yang membedakan manusia dengan hewan adalah akalnya. Dengan akal manusia bisa mencapai kebenaran yang hakiki, dan dengan akal pula manusia dapat memperoleh ilmu. Oleh karena itu al-Qur’an memberikan perhatian khusus kepada akal dalam berfikir.
5. Qalbu
Tugas qalbu adalah menebus kedalaman ilmu. Olej karena qalbu digolongkan sebagai alat untuk mencapai ilmu. Qalbu membantu manusia untuk meraih ilmu yang sejati. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Mengapa kalian menyuruh orang lain (mengerjakan)kabaikan, sedangkan kalian melupakan diri sendiri. Padahal kalian membaca al-kitab 9taurat)? Maka tidakkah kalian berfikir? Jadikanlah sabar dan shalatsebgai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusu’ (Q.S. 2: 44-45)

C. Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan
Allah menyuruh ummatnya untuk menuntut (mempelajari) ilmu sebanyak-banyaknya dari buaian sampai liang lahat. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu sesuai dengan firman-Nya:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dari kamu dan orang-orang yang beriman”.

Allah menyuruh manusia mempelajari segala sesuatu yang di alam ini. Bahkan banyak sumber-sumber yang dapat kita gali untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Adapun sumber-sumber ilmu pengetahuan dalam Islma yaitu:
a. Al-Qur’an dan Sunnah
Allah SWT telah memerintahkan hambanya untuk menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber pertama ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan keduanya adalah langsung dari sisi Allh SWT dan dalam pengawasannya, sehingga terjaga dari kesalahan dan terbebas dari segala vasted interest apapun. Karena ia diturunkan dari yang Maha berilmu dan yang Maha Adil. Sehingga Allah SWT menyampaikan melalui berbagai perintah untuk memikirkan ayat-ayar-Nya (Q.S. 12: 1-3) dan menjadikan Nabi saw sebagai pemimpin.

b. Alam Semesta
Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk memikirkan alam semesta (Q.S. 3: 190-192) dan mengambil berbagai hukum serta manfaat darinya. Diantara ayat-ayat yang telah dibuktikan oleh pengetahuan modern sekarang ini seperti: ayat tentang asal mula alam semesta dari kabut/ nebula (Q.S. 16: 14-18). Penciptaan bumi dan lautan (Q.S. 30; 24), merupakan cipataan Allah sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya.

c. Diri Manusia
Allah SWT memerintahkan agar manusia memperhatikan tentang proses penciptaan-Nya, baik secara fisiologis maupun fisikologis/ jiwa manusia tersebut. (Q.S. 91: 7-10).

d. Sejarah
Allah SWT memerintahkan manusia agar melihat kebenaran wahyu-Nya melalui lembar-lembar sejarah (Q.S. 12: 111). Jika manusia masih ragu akan kebenaran wahyu-Nya dan akan datangnya hari pembalasan, maka perhatikanlah kaum nabi Nuh, Hud, Shalih, Fir’aun, dan sebagainya, yang sesuai keberadaannya dalam sejarah hingga saat ini.

D. Validitas Ilmu Pengetahuan
Sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelumnya bahwasanya ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah, yaitu mengandalkan logika dan bukti empiris. Sedangkan instrumen untuk memperoleh ilmu adalah panca indera dan pikiran, nah untuk mencapai suatu kebenaran ilmu pengetahuan menurut al-Ghazali terdapat empat kelompok pencari kebenaran:
1. Para ahli ilmu kalam yakni mempergunakan metode debat dalam memecahkan masalah
2. Golongan Bathiniah yakni menggunakan metode ta’lun (ajaran otoriter) yakni tertolak dari suatu kebenaran dapat diterima apabila berasal dari seseorang yang dapat dipercaya.
3. Kaum filosof yakni kebenaran itu pada penalaran akal jadi masalah dianggap benar jika akal menerima.
4. Golongan Sufi yakni menggunakan metode kontemplasi (perenungan).

Dengan metodenya masing-masing inilah ke-empat golongan ini berusaha untuk menemukan suatu kebenaran dari ilmu pengetahuan. Akan tetapi ilmu pengetahuan yang bersumber pada Ilahi sudah pasti valid. Artinya tidak perlu diadakan riset karena ilmu tersebut langsung dari sisi-Nya, sedangkan ilmu yang tidak bersumber dari ilahi dalam buku pengantar filsafat pendidikan dijelaskan bahwa “kebenaran ilmu berada disepanjang pengalaman”. Jadi aktivitas ilmu ini digerakkan oleh pertanyaan bagaimana, yang dijawab oleh pelukisan tentang fakta, dan apa sebabnya yang dijawab oleh penjelasan tentang fakta.
Dengan demikian ilmu membatasi diri pada kenyataan (data, atau fakta, fenomena, dan pengalaman). Selain itu dalam buku pengantar filsafat umum dijelaskan bahwa untuk mengetahui bahwa suatu pengetahuan itu benar. Para pemikir telah merancang 3 macam cara untuk menguji kebenaran yaitu dengan teori korespondensi, teori koherensi dan teori paragmatis.
1. Teori Korespondensi yakni kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan fakta, dan fakta itu sendiri kecekcokan antara pertimbangan dan situasi yang dipertimbangkan.
2. Teori koherensi yakni benar jika pertimbangan itu bersifat konsistensi (nutut0 dengan pertimbagnan lain yang diterima kebenarannya.
3. Teori Pragmatis yakni, kebenarannya itu lebih bersifat kepada bermanfaat tidak untuk kita.
Jadi inilah tiga pengujian kebenaran baik dalam ilmu maupun filsafat.

E. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Menurut imam Ghazali dalam bukunya ihya ulmuddin beliau menerangkan secara khusus tentang lmu pengetahuan yang berhubungan dengan tatanan sosial masyarakat. Ia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tiga kriteria, yaitu:
1. Kasifikasi ilmu pengetahuan menurut tingkat kewajibannya
Berdasarkan tingkat kewajibannya ini imam al-Ghazali membagi kepada dua kewajiban yaitu;
a. Ilmu pengetahuan yang fardhu ‘ain
Menurutnya ilmu pengetahuan yang termasuk dihukumi fardhu ‘ain ialah segala macam ilmu pengetahuan yang dengan dapat digunakan untuk bertauhid (pengabdian, peribadatan kepada Allah secara benar, untuk mengetahui zat serta sifat-sifat-Nya.

b. Ilmu Pengetahuan Fardhu kifayah
Adapun yang termasuk fardhu kifayah menurutnya adalah setiap ilmu pengetahuan yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan kesejahteraan dunia. Al-Ghazali menyebutkan ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah: ilmu kedokteran, berhitung, pembekaman, politik dan lain sebagainya.

2. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menutut Sumbernya
Adapun klasifikasi ilmu pengetahuan menurut sumbernya. Al-Ghazali membagi kepada 2 sumber:
a. Sumber dari pengetahuan Syari’ah
Yaitu ilmu pengetahuan yang di peroleh dari para Nabi as. Bukan dari penggunaan ilmu akal seperti berhitung atau dari eksperimen seperti ilmu kedokteran atau dari pendengaran seperti ilmu bahas.
Kemudian dari pengetahuan syari’ah di klasifikasikan menjadi 4 bagian yaitu;
1. Ushul yang terdiri dari, al-Quran, as-Sunnah, Ijma’ dan atsar sahabat.
2. Furu’ yang terdiri dari ilmu fiqih, ilmu akhlak atau etika Islam.
3. Mukaddimah yakni ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa, dan nahwu.
4. Mutammimah (penyempurnaan) yakni ilmu al-Qur’an hadits dan ilmu atsar sahabat dan lainnya.

b. Pengetahuan Ghoairi Syari’ah (akliyah)
Sumber-sumber primer dari pengetahuan ghoiru syari’ah (akliyah) adalah akal pikiran, eksperimen dan akulturasi.
Jadi, ilmu pengetahuan ghoiru syari’ah yakni sesuatu yang dapat diganti (dicari0 dan tercapai oleh persepsi dan ilmu pengetahuan ini ada yang terpuji, dan yang tercela dan ada yang mubah.

3. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut fungsinya sosialnya.
Berdasarkan fungsi sosialnya, al-Ghazali membagi kepada 2 macam:
a. Ilmu pengetahuan yang terpuji, yakni pengetahuan yang bermanfaat dan tidak dapat di kesampingkan. Contohnya ilmu kedokteran dan berhitung.
b. Ilmu pengetahuan yang terkutuk yaitu pengetahuan yang merugikan dan merusak manusia. Contohnya ilmu magis (sihir), azimat-azimat (hulasamat), ilmu tenung (sya’bidzah) dan astrologi (talbisat).

F. Karakteristik Ilmuan Muslim
Nabiel Fuad al-Musawa mengemukakan bahwa karakteristik seorang ilmuan muslim (cendikiawan muslim/ intelektual islam) ialah:
1, Bersungguh-sungguh
Seorang muslim menyadari akan hakikat semua aktfitas hidupnya adalah dalam rangka pengabdiannya kepada Allah SWT, sehingga dirinya haruslah mengoptimalkan semua potensi yang dimilikinya untuk sebesar-besarnya digunakan meningkatkan taraf hidup kaum muslimin.

2. Berpihak pada Kebenaran
Seorang muslim sangat menyadari bahwa ilmu yang bermanfaat yang didapatnya itu semuanya dari sisi Allah SWT. Allah lah yang mengajarinya dan membuatnya bisa mengenal alam semesta ini. Sehingga sebagai konsekuensinya, maka ia haruslah berpihak pada kebenaran yang telah diturunkan Allah SWT, tidak perduli ia harus berhadapan dengan orang oportunis, dan tidak perduli walaupun yang berpihak pada kebenarana itu sangat sedikit. Karena ia tahu bahwa saat mengahdap Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan setiap perbuatan walaupun kecil. (Q.S. 99: 7-8).
3. Kritis dalam Belajar
Setiap muslim harus mengetahui bahwa kebenaran yang terkandung dalam ilmu pengetahuan yang dipelajarinya bersifat relative dan tidak tetap. Sehingga ia selalu berusaha bersifat kritis dan tidak sepenuhnya yakin sepenuhnya dengan apa yang dipelajarinya dari berbagai ilmu pengetahuan modern tanpa melakukan suatu pengujian dan eksperimen.
Bisa saja suatu saat teori yang saat ini dianggap benar akan ditinggalkan, karena kebenaran teori bersifat akumulatif. Sehingga dengan semakin berlalunya waktu maka akan semakin mengalami penyempurnaan. Hal ini berbeda dengan kebenaran al-Qur’an yang bersifat absolute karena ia diturunkan oleh yang Maha Mengetahui akan kebenaran.

4. Menyampaikan Ilmu
Sifat seorang ilmuan muslim adalah berusaha mengamalkan ilmu yang sudah didapatnya dan menyampaikannya kepada orang lain. Karena pahala ilmu yang telah dipelajarinya menjadi suatu amal yang tidak pernah putus walaupun ia telah tiada, jika telah menjadi suatu ilmu yang bermanfaat.

5. Takut kepada Allah
Sefat seorang ilmuan muslim adalah dengan semakin bertambahnya ilmu pengetahuan yang didaptnya maka ia merasa semakin takut kepada Allah SWT. Hal ini disebabkan karena dengan semakin banyaknay ilmuan, maka semakin banyak rahasia alam semesta ini yang diketahuinya dan semakin banyaklah ia akan kebenaran firman Allah SWT dan kitab-kitab-Nua. Bukan sebalikya, semakin pandai maka semakin jauh ia kepada Allah SWT.

6. Bangun diwaktu Malam
Ciri seorang ilmuan muslim yang keenam ini yaitu sebagai konsekuensi dari ciri kelima di adas bahwa dengan semakin yakinnya ia kepada penciptaannya maka akan semakin banyak ia beribadah kepada-Nya dan sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang dilakukan diwaktu malam. (Q.S. 32: 16).
`Secara umum M. Rusli Karim sebagaimana dikutip oleh imam Bawani dan Isa Anshori “memberikan criteria cendikiawan muslim dengan melihat berbagai segi yang depaparkan dalam uraian:
1. Dilihat dari belakang pendidikan. Minimal pernah mengikuti kuliah di perguruan tinggi.
2. Jauh dekatnya dengan Islam, karena menjauhi integritas yangg mencerminkan nilai-nilai dan ajaran Islam serta berpihak kepada Islam.
3. Dari segi aktivitasnya yng mencerminkan kepentingan umat Islam
a. sering diundang untuk berceramah
b. Sering terlibat dalam kegiatan diskusi tentang Islam
c. Banyak menaruh perhatian terhadap perkembangan
d. Pernah menulis tentang Islam
4. Menjadi sumber panutan di lingkungan
5. Memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang terpancar dalam pemikiran-pemikiran, sikap dan tingkah laku sehari-hari secara terus menerus.
6. Terlibat dalam lembaga atau komitmen tertentu.

G. Implikasi Ilmu Terhadap Pendidikan Islam
Agama Islam meletakkan martabat tingginya kepada ilmu dan para ilmuan. Bahkan penghargaan al-Qur’an terhadap ilmu memiliki implikasi yang luas terhadap kedudukan manusia sebagai khalifah dan hamba Allah karena manusia sebagai subjek pendidikan memiliki peranan sebagai transformasi pendidikan dan sebagai pembentuk pengetahuan itu sendiri. Selain itu pengangkatan manusia sebagai khalifah tidak lain karena ilmunya sera kemampuannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sebagai khlaifah yang dibekali potensi untuk memiliki ilmu berusaha menginterprestasikan ayat-ayat Allah yang berupa wahyu telah menurunkan ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu tasawuf, dan lain-lain. Sedangkan penafsiran manusia terhadap ayat-ayat Allah justru telah melahrkan geologis, ilmu fisika, ilmu kimia, astronomi, geografi dan lain-lain. Demikian juga penafsiran manusia terhadap ayat-ayat Allah yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, telah melahirkan ilmu psikologi, kedokteran, antropologi, sosiologi, ekonomi, politik dan lain-lain.
Jadi ilmu memiliki suatu gugusan sestem pemikiran tersendiri sebagai pengetahuan keilmuan yang masing-masing memiliki metodologi sendiri. Pentingnya ilmu bagi manusia menyebabkan pencarian dan pengembangannya memiliki nilai tanggung jawab kesamaan. Sehingga seca filosofis kehadiran manusia sebagai khalifah di bumi dalam rangka proses pendidikannya.
Pengetahuan Islam bertolak dari keyakinan terhadap keesaan Allah yang harus di kembangkan dlaam pendidikan Islam, etika dan nilai Islam meresap dalam semua kegiatan manusia. Pengetahuan baik sebagai proses maupun sebagai produk memiliki implikasi yang luas terhadap pengembangan metogdologi pengajran dan kurikulum pendidikan Islam melalui jalur klasifikasi sains. Dengan terpenuhinya konsep ilmu yang holistic akan dapat terbentuk kurikulum pendidikan yang mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dalam pembinaan keperibadian anak, baik dalam dimensi spiritual, intelektual, moral dan material. Dalam hal ini akan sistematis dalam kajian kurikulum pendidikan Islam sebagai teori pendidikan Islam.


KONSEP PENDIDIKAN DALAM ISLAM

oleh : Mulyana Yusup, S.Pd.I *)
Sampai saat ini, mayoritas ahli pendidikan berpendapat bahwa masalah utama yang dihadapi oleh bangsa kita adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai hal telah diupayakan untuk memecahkan persoalan tersebut, mulai dari berbagai pelatihan untuk peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan, perbaikan sarana dan prasarana serta yang paling besar adalah pembaharuan kurikulum pendidikan yang diarahkan pada terwujudnya proses pembelajaran yang berkualitas menuju terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, dari sekian banyak hal yang dikemukakan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan “keterpurukan” pendidikan bangsa kita - berdasarkan analisis penulis – sedikit sekali yang menyadari bahwa “kegagalan” sistem pendidikan kita lebih berdasar kepada kesalahan paradigma pendidikan kita yang telah membentuk dikotomi pendidikan di mana terdapat garis pemisah antara agama dan sains. Hal ini terlihat dari pandangan masyarakat kita saat ini sebagai produk dari sistem pendidikan yang telah dijalankan, di mana saat ini masyarakat sudah – terlanjur senang- memisahkan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Dari pemikiran tersebut kemudian muncul istilah lain (meminjam istilah Prof. Dr. Ahmad Tafsir) yaitu sekolah umum dan sekolah agama dan pemisahan yang jelas antara masalah umum (keduniaan) dan masalah agama (akhirat). Efek dari pemikiran tersebut mudah ditebak, yaitu pemisahan antara iman dan sains. Sehingga muncullah para alim ulama yang takut akan ilmu pengetahuan dan terang-terangan mencela dan memusuhinya dan banyak para ilmuwan yang cenderung acuh tak acuh terhadap agama. Hal ini menyebabkan munculnya asumsi dari sebagian masyarakat seakan-akan ada perang dingin atau pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan dan sebagian lagi bertanya-
tanya bagaimanakah sebenarnya duduk perkaranya (lihat Soedewo PK : Islam dan Ilmu Pengetahuan). Padahal, apabila kita menempatkan akal dan pikiran sebagai sarana utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, ternyata dalam al-Quran banyak sekali firman-firman Allah yang memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan potensi akalnya dalam menelaah segala hal yang merupakan ayat-ayat (tandatanda) kekuasaan-Nya. Pertanyaan-pertanyaan (Istifham) yang terdapat dalam alQuran seperti afalaa ya’qiluun atau kalimat afalaa yatafakkaruun banyak sekali digunakan dalam al-Quran. Hal ini menunjukan bahwa antara wahyu dan akal seharusnya berdampingan. Murtadha Mutahhari seorang ulama, filosof dan ilmuwan Islam sebagaimana dikutip oleh HD Bastaman dalam bukunya yang berjudul Integrasi Psikologi dengan Islam ; Menuju Psikologi Islami menjelaskan bahwa iman dan sains merupakan karakteristik khas insani, di mana manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran dan wujud-wujud suci dan tidak dapat hidup tanpa menyucikan dan memuja sesuatu. Ini adalah kecenderungan iman yang merupakan fitrah manusia. Tetapi di lain pihak manusia pun memiliki kecenderungan untuk selalu ingin mengetahui dan memahami semesta alam, serta memiliki kemampuan untuk memandang masa lalu, sekarang dan masa mendatang (yang merupakan ciri khas sains). Berdasarkan uraian tersebut, dapat kita tangkap bahwa karena iman dan ilmu merupakan karakteristik khas insani yang bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, maka pemisahan antara keduanya justru akan menurunkan martabat manusia. Di samping itu adanya adagium bahwa iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul serta kebodohan dan sebaliknya ilmu tanpa iman akan digunakan untuk mengumbar nafsu, kerakusan, ekspansionisme, ambisi, kesombongan, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan semakin menguatkan pendapat di atas. Dengan kata lain, iman tanpa ilmu akan menjadi lemah dan sebaliknya ilmu tanpa iman akan menjadi buta!!!. Pemisahan dan pengotakan antara agama dan sains jelas akan menimbulkan kepincangan dalam proses pendidikan, agama jika tanpa dukungan
sains akan menjadi tidak mengakar pada realitas dan penalaran, sedangkan sains yang tidak dilandasi oleh asas-asas agama dan akhlaq atau etika yang baik akan berkembang menjadi liar dan menimbulkan dampak yang merusak. Karenanya konsep pendidikan dalam Islam menawarkan suatu sistem pendidikan yang holistik dan memposisikan agama dan sains sebagai suatu hal yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain, yang secara umum ditunjukkan dalam doa Rasulullah : “Ya Allah, ajarilah aku apa yang membawa manfaat bagiku, serta karuniakanlah padaku ilmu yang bermanfaat”. Dari doa tersebut terungkap bahwa kualitas ilmu yang didambakan dalam Islam adalah kemanfaatan dari ilmu itu. Hal ini terlihat dari hadits Rasulullah : “Iman itu bagaikan badan yang masih polos, pakaiannya adalah taqwa, hiasannya adalah rasa malu dan buahnya adalah ilmu.” Pada akhirnya, sebagai kesimpulan penulis mengutip pendapat HD Bastaman : “Bila anda seorang ilmuwan, simaklah al-Quran dan bila anda seorang agamawan pelajarilah sains” sehingga diharapkan akan lahir seorang ilmuwan yang berjiwa ulama dan ulama yang bersikap ilmiah. Wallaahu A’lam.
*)
Penulis adalah Guru PAI SMP Pasundan 1 Bandung dan sedang melanjutkan
studi di Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Konsentrasi Pendidikan Agama Islam.

Konsep Dasar Pendidikan Islam (2)
B. Sumber dan Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan Islam bersumber pada enam hal, yaitu al-Qur’an (yang merupakan sumber utama dalam ajaran Islam), as-Sunnah (perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi atas perkataan dan perbuatan para sahabatnya), kata-kata sahabat (madzhab shahabat), kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah), tradisi atau kebiasaan masyarakat (‘urf) dan ijtihad (hasil para ahli dalam Islam).
Keenam sumber tersebut disusun dan digunakan secara hierarkis, artinya rujukan pendidikan Islam berurutan diawali dari sumber utama yakni al-Qur’an dan dilanjutkan hingga sumber-sumber yang lain dengan tidak menyalahi atau bertentangan dengan sumber utama.
Sedangkan dasar dari pendidikan Islam adalah tauhid. Dalam struktur ajaran Islam, tauhid merupakan ajaran yang sangat fundamental dan mendasari segala aspek kehidupan penganutnya, tak terkecuali aspek pendidikan. Dalam kaitan ini para pakar berpendapat bahwa dasar pendidikan Islam adalah tauhid. Melalui dasar ini dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniawi menyatu dengan kehidupan ukhrawinya. Sukses atau kegagalan ukhrawi ditentukan diduniawinya.
2. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum karena semuanya bersumber dari satu sumber, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya, sehingga harus saling melengkapi.
4. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para nabi semuanya bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, prinsip-prinsip pokoknya menyangkut akidah dan akhlak tetap sama, dari zaman dahulu sampai zaman sekarang.
5. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan roh ilahi.
6. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang.

C. Tujuan pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya.
Tujuan pendidikan Islam adalah “suatu istilah untuk mencari fadilah, kurikulum pendidikan islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.”
Tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan dimuka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya dimuka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.
Apabila perumusan tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits maka tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1. Tujuan pertama adalah menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Qs. Ali Imran [3] : 102)
2. Tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs. Adz-Dzariyat [51] : 56)
3. Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk akhlakul karimah sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق
Dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘Anhu (semoga Allah meridlainya) ia berkata, bahwa Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda: “sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak (manusia).”
Apabila diambil kesimpulan sesuai dengan pendapat Dr. M. Athiyah al-Abrasi maka tujuan pendidikan Islam bukan hanya sekedar memahami otak murid-murid dengan ilmu pengetahuan tetapi tujuannya adalah, mendidik akhlak dengan memperhatikan segi-segi kesehatan, pendidikan fisik dan mental, perasaan dan praktek mempersiapkan manusia menjadi anggota masyarakat. Suatu moral yang tinggi adalah tujuan utama dan tertinggi dalam pendidikan Islam bukan sekedar mengajarkan kepada anak-anak apa yang tidak diketahui mereka, tetapi lebih jauh dari itu menanamkan fadilah, membiasakan bermoral tinggi, sopan santun, islamiyah, tingkah perbuatan yang baik sehingga hidup ini menjadi suci, kesucian yang disertai dengan keikhlasan.

D. Kurikulum Pendidikan Islam
Perlu ditegaskan terlebih dahulu dalam kurikulum pendidikan Islam ada dua kurikulum inti sebagai kerangka dasar operasional pengembangan kurikulum. Pertama, tauhid sebagai unsur pokok yang tidak dapat dirubah. Kedua, perintah membaca ayat-ayat Allah yang meliputi tiga macam ayat, yaitu: 1) ayat Allah yang berdasarkan wahyu, 2) ayat Allah yang ada pada diri manusia, 3) ayat Allah yang terdapat di alam semesta atau di luar manusia. Adapun prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam adalah:
1. Adanya pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilainya.
2. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
3. Keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
4. Perkaitan dengan bakat, minat, kemampuan-kemampuan, dan kebutuhan, dan juga dengan alam sekitar, fisik, dan sosial tempat berinteraksi.
5. Pemeliharaan atas perbedaaan-perbedaan individu dilingkungan masyarakat.
6. Penyesuaian dengan perkembangan dan perubahan yang berlaku dalam kehidupan.
7. Pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum dengan kebutuhan murid dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu tinggal. (Widodo, 2008:193-194)
Mengingat urgensinya, didalam Islam ada tiga hal yang harus secara serius diajarkan kepada anak didik, yaitu:
1. Pendidikan akidah/keimanan. Ini merupakan hal yang sangat penting untuk mencetak generasi muda yang tangguh dan teguh dalam imtaq dan terhindar dari aliran yang menyesatkan kaum remaja seperti black metal atau kelompok pemuja syetan yang akhir-akhir ini sangat dikhawatirkan oleh para orang tua.
2. Pendidikan ibadah. Ini merupakan hal yang harus lebih serius diajarkan kepada anak untuk membangun generasi muda yang komitmen dan terbiasa melaksanakan ibadah. Terutama ibadah shalat dan membaca al-Qur’an yang saat ini hanya dilakukan oleh minoritas anak remaja. Bahkan tidak sedikit anak remaja yang sudah meninggalkan shalat dengan sengaja.
3. Pendidikan akhlak-karimah. Ini merupakan hal yang harus sungguh-sungguh dan mendapat perhatian ekstra dari semua pihak terutama para orang tua dan para pendidik di setiap sekolah (dan yang lainnya-pen.). dengan pendidikan akhlak-karimah akan melahirkan generasi rabbani, atau generasi yang bertaqwa, cerdas dan berakhlak mulia.
Ketiga ajaran tersebut dikemas oleh lembaga pendidikan Islam dan direncanakan dengan teratur dalam sistem kurikulum dengan silabusnya sebagai penjabaran isi ajaran pokok Islam.
Isi kurikulum Islam bila berdasarkan Qs. Fushshilat [41] ayat 53, mengandung tiga hal pokok sebagai berikut :
1. Isi kurikulum yang berorientasikan pada ketuhanan, yang berpijak pada wahyu Ilahi.
2. Isi kurikulum yang berorientasikan pada kemanusiaan, yang berpijak pada ayat-ayat anfusi.
3. Isi kurikulum yang berorientasikan pada kealaman, yang berpijak pada ayat-ayat afaqi.
Ketiga isi kurikulum ini disampaikan dengan terpadu, tanpa adanya pemisahan, misalnya apabila membicarakan masalah sifat-Nya, hal ini terkait dengan relasi Tuhan dengan manusia atau alam.

BAB III
PENUTUP

Dari berbagai rumusan dan pembahasan diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam adalah usaha-usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam baik dalam bentuk bimbingan rohani maupun jasmani, mewujudkan terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian utama serta kesuksesan di dunia dan akhirat.
2. Pendidikan Islam bersumber pada enam hal, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, kata-kata sahabat (madzhab shahabat), kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah), tradisi atau kebiasaan masyarakat (‘urf) dan ijtihad (hasil para ahli dalam Islam). Keenam sumber tersebut disusun dan digunakan secara hierarkis, dengan tidak menyalahi atau bertentangan dengan sumber utama, yaitu al-Qur’an.
Sedangkan dasar dari pendidikan Islam adalah tauhid, yakni kesatuan kehidupan, ilmu, iman dan rasio, agama dan kepribadian manusia, serta kesatuan individu dan masyarakat.
3. Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insane kamil yang mempunyai wawasan kaffah agar mampu melaksanakan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi.
4. Pendidikan Islam memiliki dua kurikulum inti sebagai kerangka dasar operasional pengembangan kurikulum, yaitu : 1) tauhid sebagai unsur pokok yang tidak dapat dirubah. 2) perintah membaca ayat-ayat Allah yang meliputi tiga macam ayat, yaitu: a) ayat Allah yang berdasarkan wahyu, b) ayat Allah yang ada pada diri manusia, c) ayat Allah yang terdapat di alam semesta atau di luar manusia. Bila berdasarkan Qs. Fushshilat [43] ayat 53, mengandung tiga hal pokok sebagai berikut: Isi kurikulum yang berorientasikan pada ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman.


Hakekat Pendidik dalam Pandangan Islam (bagian 5 dari 5 seri tulisan)
tinggalkan komentar »
 F.   Beberapa Permasalahan Seputar Pendidik di Indonesia
Salah satu masalah Pendidikan Nasional saat ini adalah rendahnya pembinaan dan pendidikan moral yang diperoleh peserta didik, pendidikan lebih berorientasi pada kemampuan akademik supaya siswa sukses dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dan ke dunia kerja. Pendidikan belum mampu menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan akademik dan kemampuan non akademik  secara proporsional. Padahal tujuan Pendidikan Nasional mengarahkan pendidikan untuk menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan akademik yang mumpuni sekaligus memiliki moral yang baik. Kesenjangan antara kedua kompetensi tersebut menandakan bahwa telah terjadi distorsi dalam proses pembelajaran baik di sekolah, rumah, dan masyarakat. Selama ini pelaku pendidik terutama guru dan orang tua bukan tidak melaksakan tugas, tetapi guru dan orang tua belum menjadi teladan bagi anak.
Proses pendidikan selama ini menghasilkan generasi yang kurang peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial, padahal hampir setiap kurikulum yang pernah digunakan dalam pendidikan di Indonesia selalu ada mata pelajaran yang berbasis moral/ahklak/karakter seperti Pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) Pendidikan Agama, dan Pendidikan Moral Pancasila (sekarang pendidikan kewarganegaraan). Tidak efektifnya muatan kurikulum tersebut mengangkat moral bangsa, dikarenakan proses pembelajaranya cenderung pada penanaman dogma-dogma penguasa dan pembelajaran  hanya sekedar transfer teori tentang moral dari guru kepada peserta didik tanpa disertai pembiasaan dan keteladanan guru.
Peserta didik sering dihadapkan pada nilai-nilai yang bertentangan, pada suatu sisi siswa dididik untuk bertingkah laku yang baik, jujur, hormat, hemat, rajin, disiplin, sopan dan sebagainya, tetapi pada saat bersamaan, mereka dipertontonkan (oleh orangtua, lingkungan bahkan oleh gurunya sendiri), hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang mereka pelajari, misal hukuman atau sanksi pelanggaran tata tertib sekolah hanya berlaku untuk siswa sementara guru kebal hukum/sanksi, siswa dilarang melakukan kekerasan tetapi banyak guru melakukan kekerasan terhadap siswa, guru  perokok melarang anak didiknya merokok dan masih banyak peristiwa yang merusak citra profesi guru. Hal-hal yang bertolak belakang inilah yang menyebabkan peserta didik kesulitan dalam mencari figur teladan yang baik (uswatun hasanah) di lingkungannya, termasuk sekolah.
Keteladanan dan pembiasaan orang tua di rumah dan guru di sekolah adalah metode yang paling efektif untuk menumbuhkan akhlaqul karimah pada anak-anak. Guru harus menjadi model  dalam pembelajaran pendidikan moral, baik pada pendidikan moral kebangsaan (nasionalisme) maupun pendidikan moral agama (akhlak). Kegiatan pembiasaan dapat diintegrasikan pada proses pembelajaran di sekolah misalnya; gotong royong, bhakti sosial, shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan tersebut wajib diikuti oleh warga sekolah termasuk guru, tidak hanya sebagai “penganjur yang baik” kepada anak didiknya.
Salah satu penyebab rendahnya moral/akhlak generasi saat ini adalah  rendahnya moral para guru dan orangtua. Kecenderungan tugas guru hanya mentransfer ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam ilmu pengetahuan tersebut, apalagi kondisi pembelajaran saat ini sangat berorientasi pada peroleh angka-angka sebagai standarisasi kualitas pendidikan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepribadian guru yang “kurang hidup“ saat ini, antara lain: 1) Proses rekrutmen guru yang mengedepankan kemampuan teknis (hardskills) tanpa memperhatikan kemampuan non teknis (softskills) seperti kepribadian (akhlaqul karimah), kemampuan memanajemen diri dan orang lain.  Malahan tidak sedikit lembaga pendidikan merekrut guru dengan tidak memperhatikan kedua keterampilan tersebut. 2) Pendidikan dan Pelatihan guru yang menekankan pada kemampuan guru menguasai kurikulum, dan  3) Tidak dipahaminya profesi guru sebagai profesi panggilan hidup, artinya guru merupakan pekerjaan yang membantu mengembangkan orang lain dan sekaligus mengembangkan guru tersebut sebagai pribadi mumpuni.
G. Penutup
Dalam makalah ini telah dibicarakan : (1) hakekat pendidik, (2) siapa pendidik itu, (3) hakekat tugas pendidik, (4) bagaimana pendidik yang ideal menurut pandangan Islam dan sepintas beberapa permasalahan seputar dunia pendidikan dan guru di Indonesia. Secara sederhana dapat disimpulkan beberapa hal pokok di sini yakni bahwa guru ialah pendidik yang mengajar di sekolah atau madrasah. Islam mendudukkan pendidik pada martabat yang tinggi, setingkat di bawah martabat nabi dan rasul. Tugas pendidik ialah mendidik dengan cara mengajar, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain. Syarat pendidik ialah dewasa, sehat lahir batin, ahli (memiliki kompetensi) dan berkepribadian muslim. Sifat pendidik ialah semua sifat yang mendukung (melengkapi) syarat tersebut. Di antara sifat-sifat itu sifat kasih sayang (adil, sabar dan jujur), dedikasi tinggi (keikhlasan), dan profesionalitas (keluasan wawasan, cerdas dan terampil) amat diutamakan.
Dalam dunia pendidikan, pendidik merupakan faktor penting dan utama, karena pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik, terutama di sekolah atau madrasah, untuk mencapai kedewasaan peserta didik sehingga ia menjadi manusia yang paripurna dan mengetahui tugas-tugasnya sebagai manusia yakni hamba Allah (‘abd) dan khalifah fi al-ardh. Di sini dapat dipahami bahwa pendidik merupakan posisi sentral dalam dunia pendidikan, berarti di pundak pendidik lah perkembangan peserta didik dilanjutkan secara kontinyu, maka pendidik semestinya mengetahui makna pendidikan sejati agar peserta didik dapat berkembang dengan sempurna untuk mendapat kebahagian hidup dunia dan akhirat. Beranjak dari ini, sepatutnya pendidik menyadari terhadap hakekat tugas yang diemban untuk mencerdaskan dan menyucikan hati dan perilaku peserta didik, pada akhirnya tugas yang mulia tersebut apabila dilakukan dengan baik akan memperoleh kebahagiaan dalam diri seorang pendidik.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2006).
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta : Gema Insani Press, 1996).
Abuddin Nata, M.A. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Pendidik-Murid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001).
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994).
Al-Ghazali, I, Ihya Ulumuddin, (Mesir : Darul Ihya al-Kutub, t.t.).
Ali Audah, Konkordansi Qur’an : Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996).
Fathiyah Hasan Sulaiman Madzahibu fi Al Tarbiyah, Bahtsun fi Al Madzahibi Al Tarbawi ‘inda Al Ghazali. (Al Qahirah : Maktabah Nahdah, 1964).
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003).
Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002).
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001).
Y.B. Suparlan, Aliran-Aliran Baru dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar